Sebuah pesan pendek saya terima dari rekan saya – Dimana “Lembaga Pers Mahasiswa???” yang ada takut pada biaya produksi, nunggu momen yang pas, takut dibuang-buang, takut disobek, banyak takutnya, kapan majunya, maunya yang ringan-ringan yang enak-enak dan gampang-gampang, emang saya tukang ketik doang – .
Saya sempat kaget mendapat pesan pendek itu, sebagai insan LPM, saya sempat sedikit geram, seperti mendapat tamparan keras, tetapi kemudian saya tersadar.
Mungkin sebagai insan LPM kita pernah mengalami kejadia seperti itu, ditanya lagi fungsi kita atau malah menerima banyak hujatan. Lantas apa yang harus kita lakukan, apa hanya berdiam diri atau menghujat balik? Jika kita melakukan kedua hal itu berarti memang benar apa yang dilontarkan dalam pesan pendek di atas atau bisa diartikan bahwa – LPM tidak mempunyai tanduk lagi, LPM mandul – .
Apa yang menyebabkan itu terjadi? Salah satunya adalah jika LPM enggan lagi mengungkap kebenaran. Coba kita mengutip salah satu adegan dalam film “Lentera Merah” – Tidak ada kebenaran dalam Lentera Merah (salah satu LPM-red) –. Apakah itu benar adanya? Kita masih tidak mau membuka kebenaran, ketakutan dengan biaya produksi untuk membuat suatu media. Perlu diingat kembali, kita adalah LPM yang pada rezim soeharto sangat ditakuti, setelah reformasi bukan berarti kita pindah ke orientasi bisnis. Kaum mahasiswa dikenal sebagi kaum yang kritis dan idealis, tunjukkan itu.
Ada sebuah kata bijak mengatakan – Di dunia ada dua sinar terang yaitu Matahari di langit dan Pers di bumi –. Insan LPM adalah insan Pers, kalau melemah berarti sinar di bumi akan meredup, sehingga gelap yang akan ditimbulkan, kebenaran akan ditutupi dan kebohongan akan digembor-gemborkan. Apakah kita mau hal itu terjadi?
Mari kita buktikan kalau kita adalah salah satu dari dua sinar terang itu, kita coba terangi bumi kampus, bukan saatnya lagi mahasiswa terjebak dalam lingkungan hedonis. Buktikan kalau kita masih bisa idealis dan kritis.
Pers itu bukan hanya tukang ketik yang hanya memindahkan omongan orang lain ke dalam bentuk tulisan, namun pers adalah pekerjaan hati nurani. Jadi, tunjukkan itu. Ada sebuah ungkapan – Ubah teriakan dengan tulisan – ungkapan itu bukan berarti mengajarkan kita untuk melemah, bukan mengajarkan kita untuk berdiam diri, tapi itu adalah ungkapan untuk menjelaskan kembali cara kita (sebagai insan pers-red) untuk menyalurkan aspirasi kita, untuk mengemukakan kebenaran, berbeda dengan aksi turun ke jalan.
Jadi, masih takutkah kita untuk menjadi lebih kritis? Masihkah kita mengharapkan pamrih untuk memperjuangkan kebenaran? Masihkah kita terus mengungkit-ungkit apa-apa yang sudah kita lakukan untuk membangun LPM bersama? Masihkah terfikirkan oleh kita tua-muda, senior-junior? Coba tanya pada diri kita masing-masing. Kalau toh masih seperti itu berarti benar celotehan “Mandulnya Media Kampus”.***
(data penulis ada pada redaksi)
0 komentar:
Posting Komentar